Jumat, 08 Agustus 2014

MENGEMBALIKAN KEDAULATAN NEGARA ATAS SUMBER DAYA ALAM ?*



Pengantar
Saya pernah menulis dengan judul: “Re-negosiasi Kontrak antara Pemerintah RI dengan Investor Asing: Retorika ataukah Kebijakan Rasional ?”[1] Tulisan ini dibuat Juli 2011 dan mendapat kritikan sejumlah pembaca (Kawan dan Mahasiswa). Intinya apakah saya berpihak pada Investor Asing dan tidak setuju pendapat mantan-Presiden B.J.Habibie?[2] Dalam buku yang memuat tulisan diatas, ada juga karangan saya: “Hukum Agraria 1960 dan Masyarakat Hukum Adat (Perlukah Reformasi Hukum Agraria ?)”. Tulisan ini juga dipertanyakan/dikritik oleh beberapa pembaca, yang isinya berintikan: mengapa saya tidak setuju dengan reformasi hukum Agraria ?!

Uraian di bawah ini mencoba untuk menjawab (pendapat subyektif saya) kedua kritikan di atas dengan mengkaitkannya dengan tema dalam judul makalah ini.

Warisan untukTim Ekonomi Presiden Terpilih
Dalam debat Capres dan penyampaian visi dan misi mereka, maka program pembangunan ekonomi di Indonesia mendapat tempat utama. Keduanya menargetkan kedaulatan ekonomi dan kemandirian ekonomi. Dari kedua target ini mereka juga menjanjikan pertumbuhan ekonomi minimal 7% untuk dapat mengatasi meningkatnya pengangguran di Indonesia. Jangan lupa pula tahun depan (2015) dengan berlakunya AFTA (Masyarakat Ekonomi ASEAN), akan terjadi persempitan peluang kerja warga negara Indonesia dengan “serbuan tenaga kerja profesional asing”.[3] Karena itu salah satu strategi kebijakan ekonomi adalah untuk meningkatkan daya serap angkatan-kerja Indonesia ke dalam pasar-kerja. Tim Ekonomi pemerintahan yang akan datang harus serius memperhatikan hal ini.

Namun, Presiden yang akan datang juga akan  tersandera dengan kebijakan-kebijakan ekonomi yang dilakukan Presiden-presiden yang lalu. Yang mendapat perhatian tulisan ini adalah tentang “re-negosiasi kontrak di bidang pertambangan” dengan PT Freeport Indonesia (Presiden Direktur: Rozik B.Sutjipto) dan PT Newmont Nusa Tenggara (Direktur Utama: Martiono Hadianto). Sesuai dengan UU Minerba (UU No.4/2009) mereka diharuskan untuk membangun smelter (pabrik pemurnian dan pengolahan) di Indonesia, agar tidak lagi ada ekspor mineral-mentah.Meskipun UU ini sudah terbit tahun 2009, namun Peraturan Pemerintah pelaksanaannya baru keluar awal tahu 2014. Entah apa yang menyebabkan kelalaian aparat birokrasi Kementerian ESDM hingga menunggu sampai 5 tahun ![4]

Newmont yang tidak dapat menerima perubahan secara unilateral oleh Pemerintah RI yang mengubah Kontrak Karya, telah membawa permasalahannya ke ICSID (International Centre for the Setlement of Investment Disputes) yang khusus membantu melalui arbitrase perselisihan penanam-modal dengan negara (host country). Indonesia adalah anngota dari ICSID sejak tahun 1967 (awal UU Penanaman Modal Asing di Indonesia). Tidak mau kalah Pemerintah telah membawa permasalahannya ke UNCITRAL (United Nations Commission on International Trade Law). Pemerintahan yang sekarang (melalui Menteri Chairul Tanjung) telah pula mengancam akan “mengambil-alih” Newmont dan ditawarkan ke a.l. PT Aneka Tambang Tbk[5].

Agak berlainan adalah kasus Freeport. Meskipun tadinya juga menolak perubahan secara unilateral dari Pemerintah RI, namun kemudian setelah melalui beberapa kali perundingan, dapat dicapai kesepakatan sementara. Dikabarkan bahwa Freeport telah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) untuk melakukan amandemen Kontrak Kerjanya dengan membangun smelter di Indonesia dan juga  bersedia menaikkan royalty.[6].

Kekeliruan Dalam Cara berpikir
Perjuangan untuk memperoleh kedaulatan negara atas sumber daya alam (SDA) sebenarnya merupakan perjuangan lama. Sejarah mencatat bahwa PBB telah menyatakan (declares) melalui Resolusi Sidang Umum PBB 1803 (XVII) tanggal 14 December 1962 tentang “Permanent sovereignty over natural resources” a.l. sebagai berikut:

“1.The right of peoples and nations to permanent sovereignty over their national wealth and resources must be exercised in the interest of their national development and of the well-being of the people of the State concerned.” Dan selanjutnya:

7.Violations of the rights of peoples and nations to sovereignty over their natural wealth and resources is contrary to the spirit and principles of the Charter of the United Nations …”

Karena itu, usaha mencari pendapat tentang kedaulatan Negara atas kekayaan yang terkandung dalam bumi Indonesia (bahan mineral, batubara, minyak dan gas) adalah hal yang tidak perlu diperdebatkan ataupun diperjuangkan lagi. Sudah setengah abad (50 tahun) hal ini dinyatakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Jadi kalau begitu apa masalah utamanya ? Menurut saya masalahnya berasal dari tidak konsistennya kita menjalankan Undang-Undang Pokok Agraria 1960 !

Dalam UUPA 1960 itu sudah dinyatakan adanya Hak Menguasai Negara (HMN) atas tanah. Dan seperti telah ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), HMN bukanlah “pemilikan atas tanah oleh Negara), tetapi hanya memberi Negara kewenangan untuk merumuskan “kebijakan (beleid)”, melakukan “pengaturan (regelen)”, “pengurusan (besturen)”, “pengelolaan (beheren)” dan “pengawasan (toezicht houden)”. Pengertian “agraria” juga bukanlah sekedar “tanah”, tetapi diartikan sebagai “bumi Indonesia dengan segala yang ada di dalamnya, serta di atasnya”. Kewenangan ini telah dijalankan dengan membuat Kontrak Kerja dengan perusahaan-perusahaan besar (asing dan domestik) a.l. dibidang pertambangan. Kalau dikaitkan dengan pasal 33 UUD/Konstitusi RI, maka “pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air dan ruang angkasa wilayah RI, haruslah untuk “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” (dalam kata-kata Deklarasi PBB 1962: “in the interest … and … well-being of the people of the State concerned”). Kesalahan Presiden-Presiden yang lalu (Suharto, Habibie, Megawati, Abdurachman Wahid dan SBY) adalah membuat ataupun memperpanjang Kontrak-kontrak di bidang Pertambangan (dan juga Perkebunan dan Kehutanan) yang tidak memperhatikan “kemakmuran rakyat di sekitar konsesi Pertambangan, Perkebunan dan Kehutanan” tersebut. Jadi tidak ada masalah dengan kedaulatan Negara atas Bumi Indonesia” – masalahnya adalah pejabat-pejabat yang lalu yang mengijinkan dibuatnya kontrak-kontrak yang merugikan tujuan memakmurkan rakyat”! Tidak dapat memakmurkan penduduk di sekitar lokasi konsesi –  dan membawa seluruh keuangan pajak dan rolyalty ke Pemerintah Pusat di Jakarta.

Ternyata kontrak-kontrak yang akan di re-negosiasi itu hanya menguntungkan keuangan Pemerintah Pusat dan segelintir Pejabat yang merundingkan dan menyetujui kontrak-kontrak tersebut. Sekali lagi tidak ada masalah dengan kedaulatan Negara atas sumber daya alam (selalu ada dan diakui oleh Konstitusi RI 1945 dan Resolusi PBB 1962) – masalahnya adalah kontrak-kontrak yang dibuat atau diperpanjang di bawah pemerintahan 5 (lima) Presiden yang lalu.[7]

Kekeliruan dalam pemikiran ini ingin saya namakan “logical fallacy” (kekeliruan tentang cara berpikir logis) tentang “ mengembalikan kedaulatan negara atas Sumber Daya Alam” di Indonesia.Dan juga tidak ada masalah dengan UU Pokok Agraria 1960 – tidak perlu dicabut/diganti - masalahnya adalah pada penafsiran dan pelaksanaan oleh para pejabat pemerintah (Pusat dan Daerah). Mengikuti paham bahwa tanah haruslah berdasarkan”ekonomi berbasis kesejahteraan rakyat” dan bukan “ekonomi neo-liberal yang mengandalkan mekanisme pasar “, maka kekeliruan dan kesalahan adalah pada para pejabat yang dahulu merundingkan kontrak-kontrak yang sekarang  akan dire-negosiasi. Merekalah yang harus dimintakan pertanggungjawabnya, dan bila dapat dibuktikan mereka menerima keuntungan yang tidak wajar dalam mengijinkan kontrak-kontrak tersebut, maka mereka harus mengembalikan keuntungan tersebut kepada Negara.[8] Dan jangan pula sekarang re-negosiasi ini dijadikan proyek-pejabat untuk mendapat keuntungan (pribadi maupun kelompok/partai).


Perlu Inovasi Dalam Hal Kontrak SDA
Kasus tentang usaha mencari keseimbangan baru (re-balance) antara kepentingan Negara/ kesejahteraan rakyat dengan kepentingan Swasta (Asing dan Domestik) dapat kita simak dalam berbagai kasus di luar Indonesia, a.l.. di Amerika Selatan (Venesuela dan Bolivia). Dalam mencari keseimbangan baru ini, maka diperlukan adanya klausula tentang re-negosiasi yang menyatakan bahwa dalam hal terjadi perubahan dalam keadaan sehubungan kelangsungan kontrak ini (change of circumstances), maka para pihak akan membuka perundingan. Klausula dalam Resolusi PBB 1962 yang dapat membantu hal ini adalah:

“2.The exploration, development and disposition of such resources, as well as the import of the foreign capital required for these purposes, should be in accordance with the rules and conditions which the peoples and nations freely consider to be necessary or desirable … “ Dan selanjutnya dinyatakan pula :

3.In cases where authorization is granted, the capital imported and the earnings on that capital shall be governed by the terms thereof, by national legislation in force, and by international law. … due care being taken to ensure that there is no impairment, for any reason, of that State’s sovereignty over its natural wealth and resources.” Dan kemudian :

8.Foreign investment agreements … shall be observed in good faith; States and international organizations shall strictly and conscientiously respect the sovereignity of peoples and nations over their natural wealth and resources …”

Pendapat pribadi saya adalah, bahwa (sekali lagi) tidak perlu ada debat tentang “mengembalikan” kedaulatan, karena kedaulatan ini tidak pernah hilang dari “host country”. Mungkin memang berkurang, tetapi ini adalah kekeliruan dalam kontrak-karya bersangkutan. Dan ini menurut saya dapat dire-negosiasi dengan mendalilkan adanya “hanky-panky” atau kolusi antara Pejabat negosiasi yang lalu dengan Pimpinan perusahaan yang lalu, sehingga telah terjadi “impairment” atas “State’s sovereignty”,  sehingga kontrak tersebut tidak “in accordance with the rules and conditions …  necessary or desirable”.

Tentu di sini kemudian akan timbul masalah hukum lain, yaitu asas tentang “berlakunya kontrak sebagai undang-undang bagi kedua belah pihak” atau dikenal juga dengan “the sanctity of contract principle”. Jawaban saya, karena itulah maka perlu ada “inovasi” dalam kontrak-karya ataupun bentuk kontrak lainnya, yaitu antara lain:

1)Ada klausula yang memungkinkan re-negosiasi bila ada “economical need to re-balance State and Private interest under the contract” disebabkan karena antara para pihak “its equilibrium is negatively affected, beyond the control of the parties”– dan secara umum apabila ada “change of circumstances in the contract”.[9]

2)Menegaskan bahwa sesuai dengan Konstitusi RI, maka bahan mineral, batubara dan hydrocarbon yang ada dalam daerah pertambangan bersangkutan adalah tetap milik dari Negara, juga atas dasar pada Resolusi PBB 1962 tentang Permanent sovereignty over natural resources”,dan karena itu yang merupakan milik Investor adalah hanya instalasi dan infrastruktur pertambangan.[10]

Klausula terakhir ini perlu agar dalam hal pemutusan kontrak sepihak (unilateral termination) oleh Pemerintah RI dan pengambil-alihan (expropriation),maka  yang perlu dinilai adalah hanya harga instalasi dan infrastruktur bersangkutan. Dalam hal terakhir ini (expropriation), maka tentunya perlu ada kompensasi yang adil, sesuai ketentuan dalam Resolusi PBB 1962, yang menyatakan:

“4.Nationalization, expropriation or requisitioning shall be based on grounds or reasons of … the national interest which are recognized as overriding purely individual or private interest … In such cases the owner shall be paid appropriate compensation …

Tidak Ada Resep Selesaikan Masalah Dengan Cepat
Masalah yang dihadapi sehubungan dengan investasi di bidang pertambangan adalah banyak. Pertama harus diingat bahwa investasi ini akan bersifat jangka panjang (long term investments), dan karena itu kita harus juga pandai melihat jauh ke depan (ingat Freeport mulai tahun 1967 dan Newmont tahun 1985 – keduanya dalam masa Presiden Suharto). Kedua, dunia investasi pertambangan adalah capital intensive, sehingga hanya perusahaan besar kelas dunia dapat atau mau menanam modal besar dengan syarat-syarat yang ditentukannya (sering host country terpaksa menerima). Ketiga, kecuali modal besar, investor juga menghadapi risiko besar, yaitu dari segi hasil survey geologi, aspek komersial/pasar, teknologi mutahir yang mahal, manajerial yang sulit dilihat dari aspek lokasi dan pekerja, serta terakhir juga risiko dari aspek politik. Semua akan dan harus  mereka perhitungkan dengan cermat dan kontrak pun akan mencerminkan ketiga hal itu: bahwa ini usaha jangka panjang, dengan investasi modal yang besar dan dengan risiko yang cukup besar pula.

Keputusan Tim Ekonomi Presiden SBY untuk memaksa para investor pertambangan membangun smelter (UU Minerba 2009) tidak keliru, namun kelihatannya masih setengah-hati, karena PP yang memuat perincian pelaksanaannya baru keluar awal tahu 2014 dan kemudian tenggat akhir adalah 2017 (?).Hampir 5 tahun (2009 -2014) kebijakan ini “mengambang” menandakan bahwa “tekanan politik” dari pihak-pihak yang berkepentingan cukup kuat. Menurut pendapat saya Tim Hukum Presiden SBY yang turut merencanakan dan membidani  kebijakan ini, kurang memanfaatkan momentum awal dari Kabinet SBY jilid II. Banyak dugaan bahwa perlawanan terhadap kebijaksanaan ini datang juga dari dalam kalangan pemeritah sendiri dan partai politik. Tentu saja hal ini dimanfaatkan pula oleh investor (Freeport dan Newmont), untuk memperkuat posisi tawar-menawar mereka.

Masalah “berat dan strategis” ini tidak akan dapat diselesaikan dengan cepat – perlu waktu – namun sayangnya periode 2009 – 2014 kurang dimanfaatkan secara efisien. Sekarang pada akhir masa jabatan Presiden SBY, masalah ini menjadi “bola panas” yang akan “diwariskan” kepada Presiden RI yang akan datang.Apalagi ini merupakan isyu “nasionalisme vs pragmatism ekonomi” ! Sekali lagi,perlu diingat bahwa  masalah ini mempunyai berbagai dimensi: politik – ekonomi- dan hukum, yang belum tentu sejalan.Dan dimensi hukum – menurut saya - perlu penanganan yang baik, jangan menjadi “bom waktu” yang akan menggangu program-ekonomi utama Presiden yang akan datang: khususnya tentang  pertumbuhan ekonomi di atas 7% setahun dan pengurangan pengangguran serta kemiskinan ! 


*Tulisan ini dibuat pada tanggal 5 Agustus 2014


[1] Dalam: Mardjono Reksodiputro (2013),Perenungan Perjalanan Reformasi Hukum, Penerbit: Komisi Hukum Nasional (KHN-RI), hal 59 - 68
[2] Habibie pernah mengatakan bahwa model investasi asing di bidang Minerba ini adalah model-baru neo-colonialism, dan ditanggapi oleh Presiden SBY di Gedung MPR tanggal 1 Juni 2011.
[3] Menurut Bank Dunia, Indonesia akan aman dari jebakan middle income (hampir miskin) bila berhasil mecapai pertumbuhan ekonomi 9% per tahun. Masih jauh dari target para Capres 7 % setahun.
[4] Kelalaian ini (tanpa menyampingkan kemungkinan adanya korupsi) disebabkan oleh masih belum berjalannya reformasi birokrasi. Menteri Azwar Abubakar pernah mengakui bahwa kapasitas dan akuntabilitas birokrasi Indonesia memang masih rendah (Orasi ilmiah di ITB 3 Juli 2014). 
[5] Lihat Sura Pembaruan 4 Juli 2014 dan 31 Juli 2014.
[6] Lihat Kompas dan Suara Pembaruan 26 Juli 2014.Pembangunan smelter dilakukan melalui PT Smelting (PMA) dengan lokasi di Kabupaten Gresik Jawa Timur, menurut Suara Pembaruan 4 Agustus 2014.
[7] Lihat Mardjono Reksodiputro op.cit ,hal.79-86: “Hukum Agraria 1960 Dan Masyarakat Hukum Adat”.
[8] Ibid; dan dalam UU Korupsi sekarang ini dapat dinamakan penerimaan gratifikasi.
[9] Lihat, Jose Macedo, “From Tradition to Modernity: Not Necessarily An Evolution – The case of Stabilisation and Renegotiation Clauses “ (diunduh dari Internet Juli 2014-University of Dundee,Scotland-dapat dihubungi melalui <joceymacedo@gmail.com>)
[10]Lihat, Raquel Gutierrez and Dunia Mokrani, Bolivia : Nationalization without Expropriation ? – (Diunduh dari internet Juli 2014 – Center for Andean and Mesoamerican Studies in Mexico and Bolivia -<www.americaspolicy.org>)