“Di tengah krisis keadilan, hilangnya rasa
malu dan gencarnya
semangat menggugat hukum saat ini, sosok Soe
Hok-gie pantas ditampilkan.
[ Ia ]…menawarkan nilai-nilai keteladanan,
utamanya integritas dan kebersihan hati.
…akar masalahnya adalah integritas dan
kepantasan di negeri ini !”
Pengantar
Judul di atas menggunakan “ungkapan kegelisahan: Apa kata Dunia – kalau kita tetap bersifat begini (tidak ada
kebersihan hati dan integritas)”. Meniru dari iklan pajak :”Sudah siang begini belum punya NPWP dan
belum bayar Pajak – Apa kata Dunia ?”
Kita semua gelisah - sudah limabelas
tahun reformasi hukum, tetapi kekuasaan tetap menggoda hukum. Dan pendapat Jakob Oetama ini sekarang terkenang
kembali oleh saya. Memang kekuasaan dapat mengubah sifat manusia, dahulu pendekar
HAM sekarang mementingkan ego-politik, institusi yang diwakilinya dan terutama
takut hilang kekuasaan. Lembaga-lembaga yang didirikan untuk menegakkan hukum
kembali (hukum yang tumbang di masa Orde Baru) terlihat menunjukkan “budaya
kekuasaan” yang egoistis-dimulai MK dan
MA yang tidak mau diawasi oleh KY (yang dibentuk oleh Konstitusi) dan
sekarang KPK yang merasa tidak perlu ada
“pengawasan” melalui KUHP dan KUHAP.Mereka
lupa sejarah ! Lupa bagaimana dahulu
dalam masa Orde Baru untuk kepentingan politik dibangun “ketakutan pada
ideologi komunis” dan untuk itu dibangun lembaga KOPKAMTIB yang “maha-kuasa”,yang
dianggap tidak perlu pegawasan,karena petinggi-petinggi lembaga ini adalah “pembela
dan patriot negara”, yang menyuarakan suara-rakyat dan dibutuhkan untuk menumpas komunisme dari muka
bumi Indonesia. Itulah sejarah Indonesia 50 tahun yang lalu. Belum terlalu
lama, tetapi kita sudah lupa! Kalau begini:
Apa kata Dunia ?
Seperti juga masa lalu, sekarang juga
masyarakat dijadikan paranoid terhadap ancaman korupsi – para
koruptor sebagai “public enemy number
one”. Rakyat yang hidup dalam kesengsaraan dan kemiskinan terhibur melihat
banyaknya petinggi-petinggi negara dan tokoh politik serta para selebriti yang
dijatuhi hukuman berat dan masuk penjara agar menderita. Seperti “wong cilik”
yang telah lama menderita dalam kemiskinan, sekarang mereka “wong elite” yang hidup dalam kemewahan juga akan menderita. Rakyat senang: KPK adalah “pembela dan
patriot negara” yang menyuarakan penderitaan mereka: “kemiskinan dan
kesengsaraan karena akibat korupsi para koruptor”. Penyadapan tanpa-pengawasan harus
“dihalalkan” – kewenangan lembaga KPK menahan dan menyita tidak memerlukan
pengawasan lagi – karena mereka adalah pemburu
“public enemy number-one”. Rakyat dibuat lebih paranoid dengan mengumumkan
bahwa KPK “sedang digoyang – digerogoti – akan dilemahkan” oleh para “pendukung
koruptor” melalui pembaruan KUHP dan KUHAP. Kalau caranya begitu: Apa kata
Dunia ?
Apa tujuan makalah ini ? Apakah saya akan membela para
koruptor ? Apakah saya akan mengatakan bahwa korupsi tidak berbahaya dan tidak
sistematis ? Apakah saya akan mengatakan bahwa korupsi bukan “extra-ordinary crime” yang penanganannya
tidak memerlukan “extra-ordinary
measures” ? Tidak bukan itu tujuan
makalah ini – tidak untuk membela para koruptor – tidak untuk menisbikan pendapat
bahwa korupsi di Indonesia berbahaya – tidak untuk menisbikan pandangan bahwa
perlu ada cara yang “luar-biasa” untuk memberantas korupsi di Indonesia ! Tujuan saya hanya agar rakyat tidak
“terangsang” oleh provokasi para pencari kekuasaan-politik – agar rakyat mau
berpikir rasional dan tidak emosional – dan agar rakyat tidak melupakan sejarah
kelam Indonesia tahun 1965 dan tahun-tahun berikutnya ketika ada lembaga Kopkamtib
yang tanpa pengawasan ! Hanya itu maksud saya !
Kemana Integritas ?
Integritas adalah ketegasan dalam
karakter seseorang dalam hal kejujuran dan loyalitas kepada prinsip dan asas,
ini merupakan kekuatan dalam menghadapi berbagai godaan a.l. tentang keangkuhan
dan egoism diri. Wawasan tentang masa depan sistem hukum kita yang harus dapat mengayomi
masyarakat terhadap kesewenang-wenangan kekuasaan, dikaburkan dengan keangkuhan merasa lebih tahu
apa yang dibutuhkan dalam waktu sekarang, ditambah takut hilangnya kekuasaan
lembaga dimana dia bekerja dan merupakan
sumber kekuasaannya. Lembaga Kopkamtib
dan pimpinannya merupakan contoh dalam sejarah Indonesia.
Adakah KPK akan menjadi lembaga serupa dalam sejarah hukum dan “perang
terhadap musuh nomor satu Indonesia” ? Dulu yang dilawan adalah ideologi komunis dan para anggota PKI,
sekarang korupsi yang sistemik dan para pejabat korup ? Tetapi perlukah KPK menjadi “serupa Kopkamtib” yang kebal kritik dan
penentu apa yang diperlukan oleh masyarakat Indonesia ? Apakah keberhasilan
represif (menangkap dan membawa kepengadilan para koruptor) dan re-aktif saja yang menjadi ukuran keberhasilan dan
mendapat pujian ? Apakah jumlah korupsi yang terbongkar akan merupakan hasil
akhir pekerjaan KPK ? Tetapi bukankah keberhasilan tugas pro-aktif (mencegah dan
membangun kesadaran masyarakat) harus juga di ukur ? Mengapa hasilnya tidak
terdengar menggembirakan ? Kalau begitu saja hasilnya -- Apa kata Dunia
?
Kasasi mengkebiri Wewenang dan Kebebasan Hakim Agung ?
Berasal dari kata Latin “cassatie” dan berarti “verbreking, vernietiging van vonnis of
arrest (putusan penggadilan) van
lagere rechter”.Ketentuan bahwa putusan
bebas tidak dapat dimintakan kasasi adalah tepat dengan pertimbangan bahwa:1)putusan bebas (seharusnya)
didasarkan pada penemuan dalam sidang PN maupun PT tentang fakta-fakta yang
diajukan oleh JPU maupun oleh Terdakwa/Advokatnya; sedangkan kasasi (hanya) menilai kebenaran hukum yang dipergunakan
hakim PT dan hakim PN; dan 2)membatasi
ketentuan mengenai kasasi, tidak berarti membatasi kebebasan hakim agung, karena kebebasan hakim (PN,PT dan MA) tidak
berarti dia “bebas-tanpa batas”, artinya
(hanya) “dia tidak boleh dipengaruhi oleh ketidak-jujuran (yang berasal dari pengaruh
politik maupun ekonomi)”.
Dalam kaitan ini dapat pula
ditanggapi ketentuan MK tentang
Peninjauan Kembali (PK). Sifat hakekat PK adalah mencegah atau
meminimalisir terjadinya miscarriage of
justice (putusan yang sesat dari pengadilan) – yaitu kekeliruan dalam putusan hakim yang memidana seorang
Terdakwa, disebabkan tidak seluruh fakta diungkapkan/terungkap dalam persidangan PN dan PT. Adanya fakta baru ini yang disebut sebagai novum –artinya: fakta baru, yang
seandainya diajukan/diketahui pada sidang-sidang terdahulu akan berakibat
putusan berbeda bagi Terdakwa (dapat bebas, tetapi dapat pula mendapat pidana
yang lebih ringan). Ingat, bahwa meskipun
diajukan PK, namun Terpidana harus tetap menjalani pidananya sampai ada putusan
berbeda dari MA. Karena itu – menurut saya - adalah tepat,
bahwa PK boleh diajukan tanpa batas. Namun, MA harus sangat cermat mengawasi
pemahaman tentang novum (fakta-baru yang sangat potensial pengaruhnya
pada putusan hakim sebelumnya) dan cermat menjaga agar tidak ada “fakta
baru” yang bukan novum yang
diselundupkan oleh advokat dalam permohonan PK-nya. Khawatir bahwa dibukanya
pintu PK berulang-kali akan membanjiri MA dengan permohonan PK, menunjukkan
bahwa MA tidak sanggup mengawasi masuknya “fakta-baru yang bukan novum”, dan karena itu ingin membatasi
PK dengan mengorbankan hak seorang Terpidana
untuk tetap berjuang melawan putusan pengadilan yang dianggapnya “sesat”.
Perlawanan organisasi anti-korupsi (termasukKPK ?) terhadap ketentuan:
a)putusan bebas tidak dapat di kasasi, dan b)PK tidak boleh dibatasi, adalah
karena ketakutan akan banyaknya koruptor yang akan dapat lolos dari
penghukuman. Bila dikaji lebih dalam ini berarti ketidakpercayaan kepada para hakim (PN,PT,MA). Dan sebenarnya merupakan penghinaan
terhadap korps hakim, karena hakim dianggap berpotensi “disuap” dan/atau
berpotensi “tidak cermat menguasai hukum”, hingga akan membebaskan koruptor,
dan tidak dapat diperbaiki melalui kasasi. Juga penghinaan terhadap korps hakim
agung, yang dianggap tidak cakap membedakan PK yang patut dipertimbangkan dan
yang tidak. Apakah benar karena ketidak-percayaan masyarakat kita pada
pengadilan, maka perubahan KUHAP harus disesuaikan dengan sikap ini, dan
menahan modernisasi KUHAP, yang berintikan perlindungan HAM ?Kalau
memang mau begitu: Apa kata dunia?
Kodifikasi KUHP di “fitnah” sebagai akan merobohkan KPK ?
Berasal dari kata “codify” dan berarti “to arrange (especially laws) into a Code or
system” – melalui kodifikasi dicoba untuk menetapkan keseluruhan hukum
dalam suatu bidang hukum tertentu dalam Kitab Undang-Undang (wetboek). Adanya code berarti ada sistem, sehingga dicegah kesimpang-siuran dan
benturan antara berbagai norma. Ada norma-induk
atau norma –pokok yang diletakkan dalam KUHP dan selanjutnya dikembangkan
atau diperinci dalam sejumlah aturan-aturan – yang boleh saja ditempatkan di luar KUHP. Jadi kodifikasi tidak menafikan
atau mengharamkan adanya aturan-aturan khusus di luar KUHP. Kodifikasi tidak
menghapus atau menghilangkan Lex specialis (Undang-undang Khusus). Beberapa
asas yang (dahulu) sudah harus dikenal dan dipahami oleh mahasiswa fakultas
hukum semester pertama dan kedua (tahun pertama – dahulu namanya propadeuse atau tingkat persiapan)
adalah :
-Pertama: Lex specialis derogat legi generali = de bijzondere wet gaat voor de
algemene wet (UU khusus berlaku lebih dahulu dari UU umum);
-Kedua: Lex superior derogat legi inferiori = de hogere wet gaat voor de lagere
wet (UU yang lebih tinggi berlaku lebih dahulu dari UU yang lebih rendah);
-Ketiga: Lex posterior derogat legi priori = de latere wet gaat voor de eerdere (UU
yang dibuat terakhir berlaku lebih dahulu dari yang dibuat lebih dahulu).
Ini adalah keinginan adanya sistem (susunan
yang teratur) dalam kodifikasi dan sama sekali tidak mengharamkan adanya Lex specialis (UU Khusus di luar KUHP).
Mungkin takut UU No.20/2001 tentang
Perubahan atas UU No.31/1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi “tercabut” karena ada Bab tentang
Korupsi dalam KUHP ? Kalau takut, maka bukankah mudah saja dibuat peraturan
dalam UU, yang menyatakan bahwa UU No.20/2001 juncto (bersama dengan) UU No.31/1999 tetap berlaku bersama KUHP Baru.Karena itu aturan dalam Bab Korupsi
di KUHP Baru harus dirumuskan tidak boleh bertentangan dengan UU Tentang Pemberantasan
Korupsi dalam UU tahun 2001 jo tahun 1999. Dan itu secara khusus juga harus diatur
dalam hal kejahatan-kejahatan tentang Pencucian Uang, Terorisme, Pencemaran Lingkungan
Hidup dan sebagainya. Semua kejahatan ini (termasuk Korupsi) harus ada induknya
– tindak pidana umumnya (de algemene
wet). Tanpa Lex Generali tidak
akan dapat dikatakan ada Lex Specialis (seperti tidak akan ada istilah “kiri”, bila tidak ada pula “kanan”). Jadi
logis (berdasarkan penalaran) bila dalam KUHP Baru sebagai induk, harus ada
ketentuan norma yang menyatakan perbuatan yang diberi nama korupsi adalah
terlarang dan diancam pidana. Ketentuan lanjutan dapat dibuat di luar KUHP Baru (boleh juga dengan
menyatakan UU yang lama tetap berlaku). Pemahaman seperti ini harus dilakukan
dengan pendekatan yuridis-ilmiah dan jauh dari pendekatan power politics. Ucapan emosional bahwa ada kekuatan yang ingin
merobohkan (menggergaji ?) KHN melalui RKUHP, sudah merupakan pendekatan power politics. Kalau cara non-ilmiah ini dipakai: Apa kata Dunia ?
Apa tujuan adanya hakim komisaris dan perlunya ijin penyadapan ?
Rancangan KUHAP memuat beberapa penyempurnaan untuk melindungi HAM Tersangka
dan Terdakwa, a.l. adanya hakim komisaris (hakim pemeriksa
pendahuluan-disingkat HPP) dan adanya ketentuan tentang perlunya pembatasan dan
ijin untuk melakukan penyadapan (intersepsi) komunikasi warga negara.Dapat
dimengerti, kalau ketentuan-ketentuan ini membuat mereka yang sekarang dapat bebas melakukan pejelidikan –
penyidikan – dan penyadapan , merasa dikurangi kebebasannya. Mengapa perlu
adanya HPP ini ? Intinya adalah agar Penyidik dan Jaksa/Penuntut Umum diawasi
dalam wewenangnya. Adalah “rahasia umum” bagaimana Penyidik dan Penuntut Umum
dapat menjadikan suatu sengketa pribadi dan perdata menjadi perkara pidana
(dikriminalisasi ?) dan dijadikan sarana ATM (pemerasan !). Kalau kita prihatin
dengan keadaan ini, maka seharusnya kita tidak menolak HPP sebagai “oversight” (pihak ketiga yang mengawasi).
Dengan segala hormat kepada KPK yang telah berjuang keras melawan semangat
korupsi di pejabat-pejabat dan pelaku usaha kita, tetapi sebagai instansi dalam
jajaran penegakan hukum, maka seharusnya mereka tidak alergi terhadap
pengawasan. Bukankah sumber utama dari adanya korupsi yang meng-gurita di
Indonesia, adalah alergi para pejabat terhadap pengawasan ? Kalau
KPK menolak diawasi dan merasa berada di atas hukum: Apa kata Dunia ?
Mengapa penyadapan harus dibatasi dan
perlu ada ijin pihak ketiga yang netral ? Penyadapan terhadap komunikasi
seseorang dan pengawasan terhadap perilakunya adalah pelanggaran hak pribadi/privasi yang dilindungi terhadap
pelanggaran HAM. Kita sempat marah mengetahui bahwa Presiden kita dan Ibu Negara
pernah “disadap” pembicaraannya oleh intelijen asing, begitu pula rumah Gubernur
DKI Jakarta diketahu pernah dipasangi alat penyadap (di kamar-kamar rumah dinas-kamar
duduk dan kamar tidur ?)- entah oleh siapa intel Indonesia – lawan politik –
KPK ?. Masyarakat mengecam keras perbuatan tersebut, namun sekarang KPK meminta
agar mereka dijinkan untuk melakukan penyadapan orang-orang yang mereka sangka
ada kaitan dengan korupsi, secara bebas. Kalau KPK boleh menyadap,menahan dan menyita
barang siapa saja berdasarkan penilaian (diskresi) mereka sendiri : Maka apa
kata Dunia - Ingatlah:”Power tends to
corrupt, and absolute power corrupts the whole institution!”
[1]
Rudy Badil dkk (Editor).2009.Soe
Hok-gie…sekali lagi, Jakarta,
KPG, hal.xv
* Tulisan ini diselesaikan tanggal 30 Juni 2014